Dingin menggigit. Bumi Allah basah menggigil. Pepohonan meringis tertutup kabut tipis. Rumah-rumah monyong memperlihatkan kelesuannya karena telah terpukul hujan seharian. Aneka sampah : plastik, daun, ranting tua, batang pohon, lumpur, mengapung di jalanan terbawa oleh air dari selokan. Hujan lebat sejak pagi, baru reda selepas Isya. Lampu-lampu lima watt kerlap-kerlip enggan menyinari kegelapan. Tapi langit cerah bertabur gemintang. Sebuah meteor melintas melepaskan semburannya di langit kelam. Setelah hujan seharian. Memang, jika dipikirkan lebih mendalam, bagi orang yang mau berpikir jernih sebentar saja, betapa, alam selalu tampak indah dalam keadaan apa pun.
Dua orang lelaki, petugas ronda, Sur dan Yos duduk-duduk di tepi pos ronda. Di depan pos ronda api berkobar menari, membakar dingin dengan hangatnya. Di pinggirnya, tergolek jagung bakar yang masih mengepulkan asap. Juga ada ubi bakar. Mereka begitu lepas mengunyah makanan yang biasa di makan oleh para petugas ronda malam. Dua gelas kopi panas membunuh kantuk yang suntuk. Mereka masih berada di dalam balutan sarung murung karena basah oleh kelembaban.
Selidik punya selidik, mereka sedang membicarakan Roy, seorang calon wali kota.
“Betapa, kita sangat mendambakan terpilihnya seorang pemimpin yang benar-benar pemimpin.” Kata Sur.
“Hhh… Betapa, kita tidak akan menemukannya. Mulut sering berbeda dengan tingkah. Betapa, kita telah banyak keliru dalam menilai seseorang…”
“Tapi… Roy lain, kawan.”
“Lain?”
“Ia teman kita. Pernah satu kampung dengan kita. Satu permainan ketika masih kecil. Ah, beruntung sekali, ia punya orang tua kaya raya, dikuliahkan, dan sekarang… berani mencalonkan diri menjadi walikota. Bukankah Kita sering mendengar dan membaca berita di koran-koran, ia selalu basah kuyup kehujanan, membawa beberapa bungkus sembako yang akan dibagikan kepada orang-orang kurang mampu?. Ia sungguh calon walikota yang pantas kita pilih, betul?”
“Ha..ha..ha.. kenapa pula si Roy berani mencalonkan diri menjadi walikota. Yang aku khawatirkan bukan dia, tapi istrinya. “
“Heh, kamu terlalu khawatir, kawan. Zaman sudah berubah. Wanita-wanita sudah modern!”
“Ayo kita keliling dulu. Cuaca seperti ini bisa dimanfaatkan oleh maling sialan!”
Lantas, mereka berkeliling patroli ke pinggiran perkampungan. Sepanjang keliling Yos memukul kentongan dengan irama dan ritme yang sama. Mereka juga berbincang macam-macam. Sur menganggap pemerintah sering memperlihatkan tindakan-tindakan aneh, bodoh dan membodohkan, juga mengada-ada.
“Apa benar, seperti itu, kawan?” Tanya Yos.
“Buka mata, dong!” Sur mendelik. “Jangan sok bodoh. Pemerintah telah menjadi orang yang merasa paling benar. Setuju? Tempo hari, rumah kita ditempeli nomor, harus bayar tujuh ribu, gila bukan? Siapa yang suruh? Tidak ada undang-undangnya itu…”
“Tapi… kau membayarnya, bukan?”
Sur mengangguk. Cemberut.
“Ha..ha..ha..!”
“Ha..ha..ha..!”
“Kenapa..?!”
“Tentang ketololan kita..”
“Ha..ha..ha.. Aku berutang kepadamu, kawan.”
“Tentang?!”
“Kejujuran… Kejujuran itu…”
“Heh, berapa rupiah akan kamu bayar?”
“Aku akan membayarnya dengan kepercayaan. Percayalah kepadaku, tidak akan kuceritakan obrolan kita ini kepada Pak Lurah juga kepada para pegawai kelurahan lainnya. Kamu aman, kawan!”
Anda pasti bisa menerka. seketika juga tubuh Sur yang besar dan gagah itu mengecil, kepalanya menunduk lesu, wajahnya perot tiada ampun. Beberapa menit lalu, ia yang tampak gagah berani itu telah berubah menjadi hewan dungu, mengibas-ngibaskan tangan tak karuan. Betapa… sebuah kepercayaan telah menikam dirinya.
“Aaku…Ppercaya…K..kepadamu, kawan!” Ucap Sur rintih, terbata-bata.
***
“Ayo Roy, lemparkan bolanya!” anak kecil itu basah kuyup. Bajunya penuh lumpur.
“Ini Sur!” Roy melemparkan bola ke arah Sur. Ditengah guyuran hujan, Sur menggiring bola. Lawan-lawanya lebih kecil ukuran badannya, tak berani menjegalnya dari depan. Ia tinggal berhadapan dengan penjaga gawang lawan. Kemenangan sudah didepan mata. Ketika bola akan ditendang, seorang pemain lawan menjegal Sur dari belakang. Berani betul dia! Pikir Sur. Ia jatuh telungkup diatas lapangan merah yang tergenang air.
“Kau curang!” Roy dan kawan-kawannya menghampiri si penjengal. Mereka mendorongnya. Terjadinya keributan kecil. Beberapa penonton merasa terusik.
“Mau berkelahi? Jangan disini, sana diatas ring tinju!” Bentak Pak Siru, wasit yang meminpin pertandingan bola sepak. Anak-anak takut kepadanya, ia seorang tentara. “Ayo lanjutkan!”
“Kita dirugikan!” Kata Roy seusai pertandingan.
“Dasar Pak Siru, berat sebelah!” Kata teman-temannya.
“Pantas saja berat sebelah, dia kan pamannya si Bun.”
“O, pantas si Bun itu berani mengganjalku.”
Mereka membersihkan diri di kolam milik Wak Haji Kusmin. Pikir mereka, Wak Haji Kusmin yang galak itu mana berani hujan-hujanan mengejar mereka. Tangan jahil anak-anak pun menyambara beberapa buah jambu kluthuk di pinggir kolam. Air kolam semakin keruh. Mereka mandi sambil salto-salto. Esoknya, Wak Haji Kusmin memberitahukan perbuatan anak-anak usil itu kepada orang tua mereka. Roy dijewer telinganya oleh bapaknya. Sur dipukul kakinya. Semua mendapat balasan yang setimpal atas perbuatanya.
***
Sudah pasti dia akan selalu mengingatku! Pikir Sur. Mana mungkin si Roy melupakan masa kecilnya. Dia sering tidur bersamaku. Aku begitu yakin, dia akan selalu mengingatku, bahkan bisa jadi selalu mengenang masa kecil itu.
Sur bergegas memotong jalan. Langit sudah mulai memperlihatkan kesedihannya. Di dalam batok kepalanya tersimpan Mun, istrinya yang dirawat di rumah sakit. Butuh biaya sekitar empat juta, Mun harus dioperasi, tumor menyerang payudaranya. Kambing peliharaannya ia jual, tapi terlalu murah untuk biaya operasi. Ia sempat meminta bantuan kepada Yos. Apa boleh dikata, kondisi Yos akhir-akhir ini sedang pailit. Sudah dua minggu pabrik batakonya tidak berproduksi. Yos selalu menggunakan uangnya untuk mencicil kreditan motor.
Yang ada dalam pikiran Sur adalah Roy, teman kecilnya yang telah menjadi seorang walikota.
Ah, mana mungkin si Roy melupakan teman baiknya. Tapi… Bagaimana kalau dia telah lupa? Tidak… dia bukan pelupa! Sur memastikan.
Di depan rumah dinas ia tertegun. Keberanian itu mulai luntur. Ia takut sekedar untuk menapaki halamannya sekali pun. Jangan-jangan… dia sudah tidak mengenalku? Bukankah sudah sekitan lama aku tidak bertemu dengannya, sejak dia pindah ke Jakarta? Sur gamang. Tapi, istriku?
Kakinya menginjak halaman rumah penuh keraguan. Hari itu telah sore. Halaman rumah dinas begitu asri dengan beberapa bunga warna-warni. Sebuah mobil mewah mengkilap menertawakan sikap Sur. Beberapa menit lamanya, Sur tertegun di depan pintu. Ia takut sekedar untuk mengetuknya.
Lebih baik aku urungkan saja! Batin Sur. Tapi ia mengetuk pintu juga, pelan sekali, tanpa ritme yang pasti, tangan Sur penuh gemetaran.
Seorang lelaki, tua, tapi wajahnya sopan menandakan bahwa ia seorang halus, tidak senang berdebat, membuka pintu.
“Ada apa, pak?”
“Pak walikota ada?” Di dalam hatinya Sur mengharapkan… Roy tidak ada.
“O, ayo silahkan masuk, pak!” orang itu membimbing Sur memasuki rumah dinas. “Tunggu sebentar, saya akan panggil dulu bapaknya!”
Betapa besar ruangan dinas. Perabotan lengkap, tertata secara apik dan bersih. Tidak ada sebutir debu pun menempel. Sur… begitu kecil didalamnya.
***
“Pakai saja pensilku, Sur!” kata Roy sambil memberikan sebuah pensil.
Tanpa pikir panjang Sur langsung menyambarnya. Sebentar lagi bel tanda masuk akan berbunyi. Ulangan umum siap mereka hadapi.
Di hari perpisahan kelas Sur baru bisa mengembalikan pensil milik Roy.
“Ini pensilmu. Maafkan, aku baru bisa mengembalikannya hari ini!”
“Kamu ini… ada-ada saja.” Mereka berangkulan. “Terima kasih Sur. Selama ini kita sudah saling memperhatikan…”
“Selanjutnya, kamu mau kemana, Roy?”
“Aku akan pergi ke Jakarta, tinggal bersama kakak. Melanjutkan sekolah disana.”
“Wuihh… hebat kamu ini Roy. Kakakmu kerja kantoran, ya?”
“Entahlah.” Roy menggeleng. “Kamu sendiri, bagaimana?”
“Aku rasa kemampuan orang uaku sudah cukup menyekolahkan aku sampai SMP ini. Tapi… siapa tahu, bukankah manusia selalu memiliki rencana?!”
Sejak saat itu mereka berpisah. Tidak pernah bertemu lagi.
***
Roy didampingi oleh seorang wanita berjalan agak lambat. Ia memakai kimono. Wajahnya terlihat mulai kusut. Tampaknya kelelahan. Ada rasa kantuk terpancar di kedua kelopak matanya.
Sudah tiga puluh tahun lebih Roy! Pikir Sur.
Roy bersama istrinya duduk di atas sofa berhadapan dengan Sur.
“Ada keperluan apa, pak. Sore-sore begini menemui saya?” Tanya Roy sambil merentangkan tangannya ke sandaran sofa.
“Roy… aku mau minta bantuan!” Bisik Sur dalam hati. Tapi ia tidak sanggup mengucapkannya. Ada istri Roy. “Ssaya mau menjual sebidang tanah, pak wali!” Itu keluar dari mulutnya. Hhh… benar juga, kau sudah tidak mengenali aku lagi Roy. Memang sudah terlalu lama. Tiga puluh tahun lebih, sejak perpisahan itu. Segalanya telah berubah! Pikir Sur.
“Ha..ha..ha.. pak..pak.. ada-ada saja, bapak ini!” Roy melirik kepada istrinya. “Mah, tolong ambilkan dompet bapak di kamar..!” istrinya bergerak. Sedangkan Roy menatap wajah Sur. Ia melirik-lirik, kemudian berkata, “Ha..ha..ha.. sudah tiga puluh tahun lebih ya, Sur?”
“Apa?!” Sur kaget.
“Ah, kau mulai pikun rupanya..” kata Roy kereng. “Sur.. Sur… kamu masih seperti dulu. Dasar kamu ini!” Roy menepuk bahu Sur.
O, Tuhan ternyata dia masih mengenaliku. Gumam Sur dalam hati.
Istri Roy datang.
“Mau kamu jual berapa sebidang tanah itu, pak?” Tanya Roy seketika wajahnya berubah.
“Bukan itu maksud kedatanganku ke sini, Roy..” Sur tidak mengucapkannya, ia menatap istri Roy, ia tidak mau mengecewakan Roy.
“Sepuluh are, pak!”
“Ya, sudah. Besok salah seorang pegawaiku akan datang ke rumahmu. Hmm… sepuluh juta, bagaimana? Dan ini uang mukanya, dua juta rupiah. Cukup kan?” Roy memberikan uang kepada Sur. “Ayo mah!” Roy dan istrinya meninggalkan Sur, hilang di balik pintu. Ketika Sur masih duduk melongo sambil memegang dua gepok uang, masing-masing sebesar satu juta.
Sur meninggalkan rumah dinas, lesu, ia mengusap wajah, sampai beberapa kali.
Esok harinya, istri Sur jadi di operasi. Sebidang tanah, tabungan di masa depan itu telah dilunasi oleh salah seorang pegawai Roy. Ditangannya, Sur memegang uang sisa operasi sebanyak enam juta.
Malamnya, Yos datang ke rumah Sur mau meminta bantuan. Yos perlu tambahan modal untuk mengembalikan kegiatan perusahaannya, memproduksi batako. Uang, sebesar lima juta rupiah. Sur memberikannya kepada Yos. Tidak… aku tidak mau kehilangan segalanya. Minimal persahabatanku dengan Yos…! Pikir Sur.
“Ini ambil… Kamu merupakan hartaku ,kawan!”
Yos mengambil uang yang tergeletak di atas meja.
” Hmm… betapa sulitnya bagi kita hanya sekedar untuk memiliki pemimpin yang benar-benar pemimpin, ya?” Kata Yos.
” Ya… tapi Roy, lain kawan!”
” Lain?”
” Dia sahabat kita, sejak kecil. Jangan pernah melupakan itu!”